I.
Pendahuluan
Berdasarkan PBI 17/03/2015 untuk
perusahaan yang mempunyai transaksi diluar dari klasifikasi berikut :
a)
transaksi tertentu dalam
rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
b)
penerimaan atau pemberian
hibah dari atau ke luar negeri;
c)
transaksi perdagangan
internasional;
d)
simpanan di Bank dalam
bentuk valuta asing; atau
e)
transaksi pembiayaan
internasional.
Wajib menggunakan Rupiah sebagai alat transaksinya dalam melakukan
pembayaran, penyelesaian kewajiban dan transaksi keuangan laiinnya di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meskipun perusahaan tersebut
memiliki hutang dalam foreign currency
atau pun jika perusahaan tersebut memiliki mata uang fungsional selain Rupiah, karena hal ini akan menimbulkan risiko
terhadap perubahan nilai tukar (foreign
exchange) pada perusahaan tersebut, jika dalam hal ini penjuala suata perusahaan
mendapatkan pendapatan dalam Rupiah.
Pelaksanaan transaksi lindung nilai adalah satu – satu nya jalan yang
dapat dilakukan perusahaan untuk memitigasi risiko terhadap perubahan nilai
tukar, saat perusahaan dapat memenuhi kriteria – kriteria tertentu dalam
melakukan transaksi lindung nilai, perusahaan dapat meberlakukan akuntansi
lindung nilai pada transaksi loan yang
harus dibayarkan oleh perusahaan tersebut. Salah salah satu intrumen derivatif
yang sering digunakan untuk melakukan transaksi lindung nilai terhadap eksposur
perubahan kurs adalah FX Forward,
kemudahan untuk masuk dalam transaksi Forward
merupakan salah satu penyebab mengapa Forward
merupakan instrumen derivatif yang sering digunakan untuk melakukan
transaksi lindung nilai.
Namun, faktanya loan yang
harus dibayarkan pada suatu tanggal perjanjian (tanggal maturity) menggunakan spot
rate pada tanggal tersebut sementara
forward menggunakan Contract Rate yang didapat dari Forward Rate pada tanggal Execute nya. Hal ini menyebabkan tanda
tanya apakah penggunaan Forward dapat
memberikan tingkat efektivitas sampai 100% dalam transaksi lindung nilainya
karena kenyataan di lapangan selalu terdapat selisih antara Forward Rate dengan Spot Rate.
II.
Pembahasan
Juan Ramirez dalam bukunya Accounting for Derivatives : Advanced
Hedging under IFRS (hal 54, 3.4.1
Summary of Most Popular Hedging Derivatives –
Foreign Exchange Risk)
mengatakan “FX Forward is the most friendly FX instrument
to qualify for hedge accounting. Effectiveness assessment can be based either
on spot or on forward rates. If based on spot rates, changes in fair value due
to forward points are recognised in P&L.”
Yang kurang lebih maksudnya adalah FX Forward merupakan derivatif yang
paling mudah digunakan dalam rangka memenuhi syarat akuntansi lindung nilai,
penilaian efektivitas dapat didasarkan baik pada spot rate ataupun pada forward
rate. Jika didasarkan pada spot rate,
perubahan (perbedaan) terhadap forward
rate diakui di P&L. dimana pada buku yang sama (hal 31) dikatakan bahwa
terdapat 4 (empat) cara yang dapat dipilih untuk menghitung efektivitas
kativitas lindung nilai menggunakan Forward,
yaitu :
1.
Spot-to-spot comparison. Penilaian efektivitas berdasarkan perubahan kurs spot. Dengan demikian,
tidak termasuk dari penilaian dampak perubahan Forward rate.
2.
Forward-to-forward
comparison. Penilaian
efektivitas berdasarkan perubahan Forward
rate. Dengan demikian, tidak termasuk dari penilaian dampak perubahan kurs
spot.
3.
Spot-to-forward comparison. Penilaian efektivitas
berdasarkan perubahan kurs spot untuk item
lindung nilai dan forward rate untuk
instrumen lindung nilai, pada prakteknya tidaklah masuk akal jika menerapkan alternatif
ini.
4.
Forward-to-spot comparison. Penilaian efektivitas
berdasarkan perubahan kurs spot untuk instrumen lindung nilai dan forward rate untuk item lindung nilai, pada prakteknya tidaklah masuk akal jika
menerapkan alternatif ini
Dibawah ini merupakan contoh
kasus saat sebuah perusahaan menggunakan FX
Forward untuk melakukan lindung nilai penjualannya. (Hal 55 Case 3.1)
Pada kasus diatas, perusahaan akan menjual
barang dagangnya ke klien Amerika, penjualan yang dilakukan menggunakan mata
uang US$, sementara perusahaan tersebut menggunakan EUR sebagai mata uangn
fungsionalnya, akibat nya perusahaan terekpose terhadap risiko perubahan nilai
tukar mata uang USD/EUR khususnya jika EUR melemah terhadap USD.
Untuk melindungi terhadap risiko
tersebut, perusahaan ABC melakukan kontrak FX
Forward dengan
Bank XYZ dengan nilai (Notional Amount) yang sama dengan
penjualannya (US$ 100 Juta) dan “mengunci” rate EUR ke USD senilai 1.2500 yang
artinya pada tanggal berakhirnya kontrak Forward
perusahaan akan membayar US$ 100 Juta ke Bank XYZ dan perusahaan akan
mendapatkan EUR 80 Juta dari Bank XYZ, pada sekrenario ini, US$ 100 Juta yang
dibayarkan oleh ABC didapat dari pelunasan penjualan yang dilakukan perusahaan
ABC terhadap klien Amerika nya itu. Jadi akibat transaksi ini, “seolah-olah”
Perusahaan ABC melakukan transaksi penjualan dengan klien Amerikanya senilai
EUR 80 Million.
Berikut terdapat informasi tambahan dalam transaksi
diatas :
Pada informasi ini, dikatakan bahwa
lindung nilai yang dilakukan oleh perusahaan ABC adalah lindung nilai terhadap
arus kas, perusahaan ABC memutuskan untuk menggunakan selisih FX forward
untuk menilai efektivitas dari transaksi lindung nilai tersebut (forward-to-forward comparison).
Saat Perusahaan ABC memenuhi beberapa
kriteria yang disyaratkan PSAK 55 (IAS 39), perusahaan ABC dapat menerapkan
akuntansi lindung nilai, dimana harus dilakukan tes Prospektif & tes
Retrospektif dimana pada :
- Tes Prospektif : Perusahaan ABC menggunakan critical terms method untuk menghitung tes prospektif, karena (i) perkiraan transaksi penjualan tersebut sama persis dengan forward; (ii) risiko kredit terkait dengan Bank XYZ untuk instrumen lindung nilai dianggap sangat rendah, Perusahaan ABC mengharapkan bahwa perubahan nilai wajar arus kas yang diharapkan dari transaksi penjualannya menjadi sepenuhnya diimbangi dengan perubahan nilai wajar dari Forward.
- Tes Retrospektif : Sebuah tes retrospektif dilakukan pada setiap tanggal pelaporan dan pada saat jatuh tempo lindung nilai. ABC digunakan metode analisis rasio. Rasio ini membandingkan (sejak awal lindung nilai) perubahan nilai wajar dari aliran kas yang diharapkan atas transaksi penjualan dengan perubahan (sejak awal lindung nilai) nilai wajar dari Forward. Lindung nilai diasumsikan efektif secara retrospektif jika hasil rasio antara 80% dan 125%. Untuk perhitungan retrospektif, berikut data spot rate dan forward rate :
Sehingga hasil perhitungan
Instrumen Lindung Nilai adalah sebagai berikut :
Dan hasil perhitungan
perhitungan dari ekspetasi aliran kas atas transaksi penjualan adalah sebagai
berikut :
Perubahan nilai wajar dari item lindung nilai merupakan nilai
absolut, sama dengan derivatifnya. Fluktuasi nilai wajar dari item lindung nilai dan instrumen lindung
nilai bertepatan, tidak ada ketidakefektivan atas transaksi ini. Dengan kata
lain, lindung nilai adalah 100% efektif. Sehingga:
Dibawah ini adalah jurnal yang
harus dilakukan oleh perusahaan ABC atas penerapan akuntasi lindung nilai:
Dari jurnal diatas, dapat
terlihat, tanpa forward transaksi penjualan
perusahan ABC sebesar USD 100 juta akan menimbulkan kerugian sebesar EUR
4.242.000 akibat selisih kurs yang terjadi antara maret 20x5 dan juni 20x5.
Dibawah ini merupakan summary dari
jurnal-jurnal diatas.
III.
Kesimpulan
Pada ilustrasi diatas, dapat dilihat
meskipun terdapat selisih antara spot
rate dan forward rate sehingga
tetap terdapat perbedaan antara other gain
/ losses nya, namun Cash flow yang diterima & EBTnya adalah senilai
kontrak forward EUR 80 juta, hal itu
disebabkan laba yang diperoleh akibat keuntungan forward senilai EUR 4.224.000
benar-benar diterima oleh ABC (yang dibayarkan oleh Bank XYZ).
Daftar pustaka
:
Ramirez; Juan, Accounting for Derivative : Advanced Hedging under IFRS, John wiley & Sons Corp; England : 2007